Search

Perempuan Ini Tebarkan 'Virus' Toleransi Lewat SabangMerauke

Suara.com - Toleransi tidak bisa hanya diajarkan, karena harus dialami dan dirasakan. Itulah pendapat yang dikemukakan oleh Ayu Kartika Dewi, penggagas SabangMerauke, salah satu peraih penghargaan Wardah Inspiring Movement, beberapa waktu lalu.

Beranjak dari kesadaran itulah, ia lalu tergerak untuk mendirikan SabangMerauke, sebuah program pertukaran pelajar antardaerah di Indonesia untuk membuka cakrawala anak-anak Indonesia, sekaligus menanamkan nilai toleransi pada kebhinnekaan.

Sebelum memutuskan untuk total di SabangMerauke yang digagasnya pada 19 September 2013, selulus dari Universitas Airlangga, Ayu pernah bekerja di Procter & Gamble, Singapura, selama lima tahun dengan jabatan terakhir sebagai manajer.

Setelah itu perempuan kelahiran Banjarmasin, Kalimantan Selatan ini alih profesi menjadi pengajar. Ya, perempuan berhijab ini pernah menjadi Pengajar Muda-Indonesia Mengajar di Maluku Utara. Daerah tersebut, kata Ayu, merupakan daerah yang terkena dampak kerusuhan SARA Ambon-Poso 1999.

Pengalaman memprihatinkan itulah yang membuat Ayu tergerak untuk mendirikan SabangMerauke. "Saya mendukung SabangMerauke, karena saya percaya bahwa toleransi itu tidak bisa hanya dibaca di buku PPKN. Toleransi itu harus dialami, harus dirasakan," cerita Ayu kepada Suara.com, beberapa waktu lalu.

Di program SabangMerauke, anak-anak dari sebuah daerah akan diajak untuk meluangkan waktu libur sekolah selama dua pekan untuk tinggal di daerah lain. Selama masa pertukaran ini, anak-anak, lanjut dia, akan tinggal bersama keluarga angkat yang memiliki nilai-nilai yang luhur dan pencapaian penghidupan yang baik, sehingga bisa menjadi panutan nyata.

SabangMerauke menggarisbawahi pentingnya prinsip untuk menjaga agar anak-anak ini tidak tercerabut dari akar budayanya, dan bahkan sekembalinya mereka ke daerahnya. Anak-anak ini dapat menjadi jendela kemajuan bagi teman-temannya, bahkan bisa menjadi duta toleransi di daerahnya masing-masing.

"Jadi misalnya ada anak Maluku, Islam, kita taruh di rumahnya Bu Agnes yang Jawa, Cina, Kristen. Pasti pertamanya takut, tapi setelah pulang ceritanya luar biasa, karena dulu anak asuh Bu Agnes ini korban kerusuhan di Maluku. Jadi, bisa dibayangkan betapa takutnya dia ke orang Kristen, tapi ketika datang ke rumahnya dan diperlakukan dengan baik, ceritanya pasti indah," jelas , penerima Beasiswa Fulbright dan Beasiswa Keller yang kini tengah mengejar gelar MBA di Duke University, USA.

Jadikan Anak-anak Sebagai Duta Toleransi
Agnes yang turut mendampingi Ayu pun menjelaskan pengalamannya setelah menjadi Family SabangMerauke (FSM). Ia bahkan bercerita masih menjalin silaturahmi baik dengan Adik SabangMerauke (ASM).

"Dan sampai sekarang kami masih berhubungan, padahal sudah empat tahun lalu. Kita sudah memulai lima tahun lalu. Menurut saya, Kak Ayu sangat visioner apa yang harus dilakukan untuk anak bangsa ini," papar Agnes.

Adapun visi misi SabangMerauke, jelas Ayu, menjadikan anak-anak sebagai duta bangsa untuk membuat negara ini senantiasa damai.

"Kita menyebutnya theory of change, jika lebih banyak anak-anak muda Indonesia pernah mengalami interaksi positif dengan oranag-orang berbeda, maka dia akan tumbuh menjadi manusia yang lebih toleran," tuturnya yang juga menjabat sebagai mentor pada Board of Directors SabangMerauke.

Lebih lanjut, Ayu juga memaparkan bahwa program SabangMerauke ini dilakukan pada masa libur anak sekolah. "Mulai berjalan pada masa libur sekolah Juni/Juli, anak-anak ada pertukaran setiap minggu. Jadi, dari ratusan hingga seribuan lebih peserta akan diseleksi, lalu diberangkatkan 10 siswa SMP dari berbagai daerah di ujung Nusantara untuk diajak ke Jakarta. Tidak menutup kemungkinan pada batch-batch berikutnya akan ada penambahan jumlah peserta dan/atau penambahan daerah tujuan pertukaran," terangnya merinci.

Setelah dilakukan tahap penyeleksian dari ribuan para siswa ini, sambung Ayu, nantinya hanya dipilih 15 orang untuk mengikuti program SabangMerauke. "Semuanya dibaca essai-nya, di-work list, diwawancara, terus nanti keluarganya diseleksi, lalu dicocokkan antara anak dan keluarganya. Lalu si anak akan berada di Jakarta selama tiga minggu," jelasnya.

Selama tinggal di Jakarta, kata Ayu, anak-anak yang mengikuti program SabangMerauke memiliki berbagai kurikulum atau program. Misalnya, ada kunjungan ke beberapa tempat beribadah, ke kampus agar terinspirasi ingin melanjutkan pendidikan seperti apa di perguruan tinggi.

"Saat kunjungan ke kampus, anak-anak juga akan bertemu pimpinan-pimpinan institusi. Intinya ingin membekali anak-anak lewat pengalaman positif, dan selama tiga minggu ini anak-anak akan berinteraksi dengan teman-temannya, malam berinteraksi dengan keluarga," imbuhnya.

Harapannya dari interaksi positif dengan orang yang berbeda agama dan ras ini, anak-anak yang mengikuti program SabangMerauke bisa menceritakan pengalaman positif yang luar biasa itu ke daerahnya masing-masing.

Tidak sampai di situ, lanjut Ayu, anak-anak yang telah menjalani program SabangMerauke tetap dijaga dan dipantau perkembangannya agar dapat menularkan hal-hal positif di daerahnya masing-masing.

"Setelah itu anak-anak di-track satu tahun setelah program, tetap sekolah, melakukan hal-hal positif, minta bertemu dengan pejabat lokal di sana, bercerita dengan teman-temannya. Jadi terus didorong supaya selama tiga minggu, mereka benar-benar siap jadi duta toleransi. Dan, setelah jadi duta di daerah masing-masing bisa diceritakan hal positifnya," tutup dia.

Let's block ads! (Why?)



Bagikan Berita Ini

0 Response to "Perempuan Ini Tebarkan 'Virus' Toleransi Lewat SabangMerauke"

Post a Comment

Powered by Blogger.